Kamis, 30 Juni 2016
Rabu, 08 Juni 2016
Rabu, 27 April 2016
Rabu, 06 April 2016
Sabtu, 23 Januari 2016
kasus etika dalam berbisnis
1.
Latar
Belakang Masalah
Ada pernyataan kuat bahwa telah terjadi distori etika dan
pelanggaran kemanusiaan yang hebat di Papua. Martabat manusia yang seharusnya
dijunjung tinggi, peradaban dan kebudayaan sampai mata rantai penghidupan jelas
dilanggar. Itu adalah fakta keteledoran pemerintah yang sangat berat karena
selama ini bersikap underestimate kepada rakyat Papua. Gagasan yang menyatakan
mendapatkan kesejahteraan dengan intensifikasi nyatanya gagal.
Ironisnya, dua kali pekerja Freeport melakukan aksi mogok kerja
sejak Juli untuk menuntut hak normatifnya soal diskriminasi gaji, namun dua
kali pula harus beradu otot. Keuntungan ekonomi yang dibayangkan tidak seperti
yang dijanjikan, sebaliknya kondisi lingkungan dan masyarakat di sekitar lokasi
pertambangan terus memburuk dan menuai protes akibat berbagai pelanggaran hukum
dan HAM.
2.
Analisis
Permasalahan
PT Freeport Indonesia merupakan jenis perusahaan multinasional
(MNC), yaitu perusahaan internasional atau transnasional yang berpusat di satu
negara tetapi cabang ada di berbagai negara maju dan berkembang.
Mogoknya hammpir seluruh pekerja PT Freeport Indonesia disebabkan
karena perbedaan indeks standar gaji yang diterapkan oleh manajemen pada
operasional Freeport diseluruh dunia. Pekerja Freeport di Indonesia diketahui
mendapatkan gaji lebih rendah dari pada pekerja Freeport di negara lain untuk
level jabatan yang sama. Gaji sekarang perjam USD 1.5-USD 3. Padahal,
dibandingkan gaji di negara lain mencapai USD 15-USD 35 perjam. Sejauh ini,
perundingannya masih menemui jalan buntu. Manajemen Freeport bersikeras menolak
tuntutan pekerja, entah apa dasar pertimbangannya.
Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua digembor0gemborkan itu pun
tidak seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah
rakyat Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa
kerusakan alam serta punahnya habitat Papua yang tidak ternilai itu. Biaya
reklamasi tersebut tidak akan bisa dditanggung generasi Papua sampai tujuh
turunan.
Umumnya korporasi berasal dari AS, pekerja adalah bagian dari aset
perusahaan. Menjaga hubungan baik dengan pekerja adalah suatu keharusan. Sebab,
di situlah terjadi hubungan mutualisme satu dengan yang lain. Perusahaan
membutuhkan dedikasi dan loyalitas agar produksi semakin baik, sementara
pekerja membutuhkan komitmen manajemen dalam hal pemberian gaji yang layak.
Pemerintah dalam hal ini pantas malu. Sebab, hadirnya MNC di
Indonesia terbukti tidak memberikan teladan untuk menghindari perselisihan soal
normatif yang sangat mendasar. Kebijakan dengan memberikan diskresi luar biasa
kepada PT FI, privilege berlebihan, ternyata hanya sia-sia.
3.
Penyelesaian
Masalah yang dilakukan PT Freeport Indonesia
Juru bicara PT Freeport Indonesia, Ramdani sirait, mengatakan bahwa
manajemen perusahaan PTFI akan berkomunikasi dengan Serikat Pekerja Seluruh
indonesia (SPSI) demi mengantisipasi ancaman aksi mogok yang dilakukan pekerja.
Karena isu aksi mogok tersebut terkait rencana pemutusan hubungan kerja
terhadap tiga orang karyawan PTFI yang melakukan intimidasi fisik kepada
karyawan lainnya.
Ia menyebutkan, terhadap intimidasi fisik yang memenuhi ketentuan
PHI (Pedoman Hubungan Industrial) Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sebagaimana
kasus tiga karyawan yang melakukan intimidasi fisik, diproses berdasarkan
ketentuan PHI-PKB.
Pasal-pasal yang tercantum dalam PKB tersebut sudah mengakomodasi
aspirasi pekerja. Salah satunya adalah adanya kenaikan upah pokok sebesar 40
persen dalam 2 tahun.” Angka ini jauh di atas ketentuan rata-rata kenaikan upah
pokok nasional sebesar 10-11 persen per tahun,” sambung dia.
Sebagai upaya mencegah hal-hal yang tidak diinginkan pada
perusahaan, perusahaan sudah membentuk Crisis Management Committee. Yaitu guna
menciptakan lingkungan kerja yang damai dan harmonis, PTFI dan pimpinan SPSI
PTFI pun telah membentuk Crisis Management Committee.
4.
Undang-undang
yang telah di Langgar
PT Freeport Indonesia telah melanggar hak-hak dari buruh Indonesia
(HAM) berdasarkan UU No. 13/2003 tentang mogok kerja sah dilakukan. PT Freeport
Indonesia telah melanggar pasal:
Pasal 139: “Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja
pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan atau perusahaan yang jenis
kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa
sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan atau membahayakan keselamatan
orang lain”.
Pasal 140: (1) “Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja
sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat”. (2) Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu) sekurang-kurangnya memuat: (i) Waktu
(hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja. (ii) Tempat
mogok kerja. (iii) Alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja.
(iv) Tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan
sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk
sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja. (4) Dalam hal mogok
kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamat
kan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan
sementara dengan cara: (i) Melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada
dilokasi kegiatan proses produksi, atau (ii) Bila dianggap perlu melarang
pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
Pasal 22: “Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas
memilih pekerjaan, berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya yang sangat doperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya,
melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan
pengaturan sumber daya setiap negara”.
PT Freeport Indonesia melanggar UU No. 11/1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang sudah diubah dengan UU No. 4/2009.
Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap
Freeport.
Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah
barometer penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi
dari berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-McMoran tersebut di
kawasan Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi
kawasan, nasional, bahkan global.
5.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa PT Freeport
Indonesia telah melanggar etika bisnis dan melanggar undang-undang. Hak
didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena
hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis. PT
Freeport Indonesia sangat tidak etis dimana kewajiban terhadap para
karyawan tidak terpenuhi karena gaji yang diterima tidak layak dibandingkan
dengan pekerja Freeport di Negara lain. Padahal PT Freeport Indonesia merupakan
tambang emas dengan kualitas emas terbaik di dunia.
6.
Saran
Sebaiknya pemerintah Indonesia cepat menanggapi masalah ini dan
cepat menanggulangi permasalahan PT Freeport Indonesia. Karena begitu banyak
SDA yang ada di Papua, tetapi masyarakat Papua khususnya dan Negara Indonesia
tidak menikmati hasil dari kekayaan alam di Papua. Jangan sampai Amerika
mendapatkan semakin banyak untung dari kekayaan yang dimiliki oleh Negara kita
sendiri.
SUMBER :
Jumat, 01 Januari 2016
dampak tanggung jawab sosial perusahaan terhadap etika bisnis
dampak tanggung jawab sosial perusahaan
terhadap etika bisnis
Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi,
khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki berbagai bentuk
tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya, yang di antaranya
adalah konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala
aspek operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan
lingkungan.
Oleh karena itu, CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", yakni suatu organisasi, terutama perusahaan, dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan dampaknya dalam aspek ekonomi, misalnya tingkat keuntungan atau deviden, tetapi juga harus menimbang dampak sosial dan lingkungan yang timbul dari keputusannya itu, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka yang lebih panjang Alasan terkait bisnis (business case) untuk CSR. Skala dan sifat keuntungan dari CSR untuk suatu organisasi dapat berbeda-beda tergantung dari sifat perusahaan tersebut.
Oleh karena itu, CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", yakni suatu organisasi, terutama perusahaan, dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan dampaknya dalam aspek ekonomi, misalnya tingkat keuntungan atau deviden, tetapi juga harus menimbang dampak sosial dan lingkungan yang timbul dari keputusannya itu, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka yang lebih panjang Alasan terkait bisnis (business case) untuk CSR. Skala dan sifat keuntungan dari CSR untuk suatu organisasi dapat berbeda-beda tergantung dari sifat perusahaan tersebut.
Kebanyakan penelitian yang mengaitkan antara
kinerja CSR (corporate social performance) dengan kinerja finansial perusahaan
(corporate financial performance) memang menunjukkan kecenderungan positif,
namun kesepakatan mengenai bagaimana CSR diukur belumlah lagi tercapai.
Mungkin, kesepakatan para pemangku kepentingan global yang mendefinisikan
berbagai subjek inti (core subject) dalam ISO 26000 "Guidance on Social
Responsibility"—direncanakan terbit pada September 2010—akan lebih
memudahkan perusahaan untuk menurunkan isu-isu di setiap subjek inti dalam
standar tersebut menjadi alat ukur keberhasilan CSR.
Dampak terhadap Etika Bisnis
Hasil Survey "The Millenium Poll on
CSR" (1999) yang dilakukan oleh Environics International (Toronto),
Conference Board (New York) dan Prince of Wales Business Leader Forum (London)
di antara 25.000 responden dari 23 negara menunjukkan bahwa dalam membentuk
opini tentang perusahaan, 60% mengatakan bahwa etika bisnis, praktik terhadap
karyawan, dampak terhadap lingkungan, yang merupakan bagian dari tanggung jawab
sosial perusahaan (CSR) akan paling berperan. Sedangkan bagi 40% lainnya, citra
perusahaan & brand image-lah yang akan paling memengaruhi kesan mereka.
Hasil survey ini menunjukan bahwa tanggung jawab
sosial sangat berperan dalam pembentukan opini sebesar 60% dan salah satunya
merupakan etika bisnis. Tanggung jawab sosial perusahaan sangat mempengaruhi
kinerja segala aspek misalnya lingkungan, karyawan sehingga mendorong etika
bisnis dalam perusahaan tersebut.
Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi
komunitas dapat diartikan sangat luas, namun secara singkat dapat dimengerti
sebagai peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas
melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR
bukanlah sekedar kegiatan amal, melainkan CSR mengharuskan suatu perusahaan
dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan
akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk
lingkungan hidup.
http://diahkataya.blogspot.co.id/2015/12/dampak-tanggung-jawab-sosial-perusahaan.html
Langganan:
Postingan (Atom)