NAMA : SAFRINA KUSUMA PUTRI
NPM : 16212778
KELAS : 4EA25
Setiap kegiatan itu pasti ada etikanya. Begitu juga halnya dengan
bisnis. Bisnis sendiri ada etikanya.Karena bisnis tidak hanya bertujuan untuk profit melainkan perlu
mempertimbangkan nilai-nilai manusiawi,apabila tidak
akan mengorbankan hidup banyak orang. Bisnis
dilakukan diantara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, sehingga
membutuhkan etika sebagai pedoman dan orientasi bagi pengambilankeputusan, kegiatan,
dan tindak tanduk manusia dalam berhubungan (bisnis) satu dengan lainnya.
Bisnis saat ini dilakukan dalam persaingan yang sangat ketat, maka dalam persaingan bisnis tersebut,
orang yang bersaing
dengan tetap memperhatikan norma-norma etis pada iklim yang semakin profesional
justru akan menang. Etika dalam berbisnis disini juga sangat diperlukan
karena dapat menjaga stabilitas kinerja atau peningkatan moral agar terjadi
peningkatan dalam segala aspek bisnis dan
meminimalisir adanya pelanggaran dalam bebisnis.
Di Indonesia, etika bisnis merupakan
sesuatu yang lama tetapi sekaligus baru. Sebagai sesuatu yang baru, etika
bisnis eksis bersamaan dengan hadirnya bisnis di dalam masyarakat Indonesia,
artinya usia etika bisnis sama dengan usia bisnis yang dilakukan oleh
masyarakat Indonesia. Dalam memproduksi sesuatu kemudian
memasarkannya, masyarakat Indonesia tempo dulu juga telah berpatok pada
pertimbangan-pertimbangan untung dan rugi. Namun dengan ciri khas masyarakat
Indonesia yang cinta damai, masyarakat Indonesia termotivasi untuk menghindari
konflik-konflik kepentingan termasuk dalam dunia bisnis. Secara normatif etika
bisnis di Indonesia baru mulai diberi tempat khusus semenjak diberlakukannya
UUD 1945 khususnya pasal 33. Satu hal yang relevan dari pasal 33 UUD 1945 ini
adalah pesan moral dan amanat etis bahwa pembangunan ekonomi Negara Republik
Indonesia semata-mata demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang
merupakan subyek atau pemilik negeri ini
Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma
yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa
dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan
bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis
terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung. Dengan
memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa
prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat
interaktif.
Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan
main yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek
bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis
yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas
dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Bisnis dan etika seperti dua sisi mata uang dimana kedunanya tidak
dapat dipisahkan. Jika bisnis tanpa etika, maka bisnis tersebut tidak bisa
dijamin kelanjutannya. Dalam bisnis terdapat dua mitos etika bisnis yaitu
Bisnis Amoral dan Bisnis Luhur. Pertama, Mitos Bisnis Amoral, menganggap bahwa bisnis adalah bisnis. DimanaInti
dr mitos ini bahwa kegiatan berbisnis adalah berusaha mendapatkan keuntungan, sedangkan beretika adalah
suatu upaya yang berhubungan dengan
moral. Kedua, Mitos Bisnis Luhur, menganggap bahwa bisnis sebagai upaya memenuhi kebutuhan masyarakat
dan keuntungan diperoleh melalui kegiatan bisnis yang beretika.
Dalam
persaingan antar perusahaan di Indonesia terutama
perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran
etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Demikian pula sering
terjadi perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pihak birokrat dalam
mendukung usaha bisnis pengusaha besar atau pengusaha keluarga pejabat. Keadaan tersebut didukung oleh orientasi bisnis yang tidak hanya
pada produk dan konsumen tetapi lebih menekankan pada persaingan sehingga etika
bisnis tidak lagi diperhatikan dan akhirnya telah menjadi praktek monopoli,
persengkongkolan dan sebagainya. Hal
ini sama sekali tidak mencerminkan pelakasanaan etika bisnis di Indonesia,
padahal etika bisnis sangat perlu diterapkan dalam segala hal kegiatan bisnis
mulai dari memproduksi barang hingga mendistribusikannya. Dalam hal ini etika dalam berbisnis sangat diperlukan
demi menjaga kesadaran individu-individu untuk tidak melakukan pelanggaran
etika yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Etika dalam
berbisnis disini juga sangat diperlukan karena dapat menjaga stabilitas kinerja
atau peningkatan moral agar terjadi peningkatan dalam segala aspek bisnis. Hal
seperti pengaturan tentang tata cara peningkatan solusi dalam pemecahan masalah bisnis juga merupakan alasan mengapa etika
bisnis diperlukan.
Seiring cara bisnis yang semakin
maju mengubah paradigma etika bisnis. Paradigma
etika adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika
terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era
kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh
etika bisnis merupakan sebuah competitive
advantage yang sulit ditiru. Etika dalam
berbisnis ini sangat mempengaruhi prospek kita kedepannya. Semakin jauh bisnis
yang kita lakukan semakin besar pula etika yang harus kita pegang atau kita
miliki. Karena etika inipun menyangkut kenyamanan kita dalam berbisnis (bagi
partner kita atau rekan bisnis kita dan bagi diri kita sendiri).Oleh karena itu, perilaku etika penting diperlukan untuk mencapai sukses
jangka panjang dalam sebuah bisnis.
Namun dalam pelaksanaan bisnis yang
beretika di Indonesia selalu menghadapi kendala-kendala yang membuat para
produsen dilema antara keuntungan atau masyarakat. Keraf(1993:81-83) menyebut beberapa kendalayaitu:
1. Standar moral para pelaku bisnis pada umumnya masih lemah.
1. Standar moral para pelaku bisnis pada umumnya masih lemah.
Banyak di antara pelaku bisnis yang lebih suka menempuh jalan
pintas, bahkan menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan dengan
mengabaikan etika bisnis, seperti memalsukan campuran, timbangan, ukuran,
menjual barang yang kadaluwarsa, dan memanipulasi laporan keuangan.
2. Banyak perusahaan yang mengalami konflik
kepentingan.
Konflik kepentingan ini muncul karena adanya ketidaksesuaian antara
nilai pribadi yang dianutnya atau antara peraturan yang berlaku dengan tujuan
yang hendak dicapainya, atau konflik antara nilai pribadi yang dianutnya dengan
praktik bisnis yang dilakukan oleh sebagian besar perusahaan lainnya, atau
antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat. Orang-orang yang kurang teguh standar
moralnya bisa jadi akan gagal karena mereka mengejar tujuan dengan mengabaikan
peraturan.
3. Situasi politik dan ekonomi yang belum
stabil.
Hal ini diperkeruh oleh banyaknya sandiwara politik yang dimainkan
oleh para elit politik, yang di satu sisi membingungkan masyarakat luas dan di
sisi lainnya memberi kesempatan bagi pihak yang mencari dukungan elit politik
guna keberhasilan usaha bisnisnya. Situasi ekonomi yang buruk tidak jarang
menimbulkan spekulasi untuk memanfaatkan peluang guna memperoleh keuntungan
tanpa menghiraukan akibatnya.
4. Lemahnya penegakan hukum.
Banyak orang yang sudah divonis bersalah di
pengadilan bisa bebas berkeliaran dan tetap memangku jabatannya di
pemerintahan. Kondisi ini mempersulit upaya untuk memotivasi pelaku bisnis
menegakkan norma-norma etika.
5. Belum ada organisasi profesi bisnis dan
manajemen untuk menegakkan kode etik bisnis dan manajemen.
Organisasi seperti KADIN beserta asosiasi
perusahaan di bawahnya belum secara khusus menangani penyusunan dan penegakkan
kode etik bisnis dan manajemen. Di Amerika Serikat terdapat sebuah badan
independen yang berfungsi sebagai badan register akreditasi perusahaan, yaitu
American Society for Quality Control (ASQC).
Selain itu, hal yang menghambat pelaksanaan bisnis beretika di
Indonesia juga dari segi budaya yaknimasih menguatnya prinsip kekeluargaan dalam masyarakat. Hampir semua
perselisihan dan pertentangan antar kelompok diharapkan akan beres begitu saja,
jika pendekatan yang dipakai adalah kekeluargaan.Sedangkan dari
segi politik yakni jika dilihat
dalam konteks etika bisnis dengan menyentuh peran Negara dalam sistem
perekonomian nasional. Peran pemerintah sebagai regulat perusahaan tidak
memberikan perhatian pada periaku etis, maka kelangsungan hidupnya akan
terganggu dan akan berdampak pula pada kinerja keuangannya. Praktek ini bisa merugikan
kerugian perusahaan lain, masyarkat maupun Negara.
Dari sekian kendala dalam melaksanakan bisnis yang beretik,
menyebabkan terjadinya beberapa macam pelanggaran etika bisnis di Indonesia di
antaranya :
1. Pelanggaran
etika bisnis terhadap hukum
Contoh
pelanggaran tersebut seperti pelanggaran pada Perusaan X karena kondisi
perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan untuk melakukan PHK kepada
karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu, perusahaan sama sekali tidak
memberikan pesangon sebagaimana yang telah diatur di dalam UU No 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan. Dalam kasus ini Perusahaan X dapat dikategorikan melanggar
prinsip kepatuhan terhadap hukum.
2. Pelanggaran
etika bisnis terhadap transparansi
Sebuah
Yayasan X menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran baru,
sekolah mengenakan biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru.
Pungutan sekolah ini sama sekali tidak diinfokan saat mereka mendaftar,
sehingga mau tidak mau mereka harus membayar ketika sudah masuk. Disamping itu
tidak ada informasi maupun penjelasan resmi tentang penggunaan dana itu kepada
wali murid. Setelah didesak oleh banyak pihak yayasan baru memberikan informasi
bahwa uang itu digunakan untuk membeli seragam baru untuk para guru. Dalam
kasus ini, Yayasan X dapat dikategorikan melanggar prinsip transparansi.
3. Pelanggaran
etika bisnis terhadap akuntabilitas
Sebuah
RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan yang akan
mendaftar PNS secara otomotis dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai salah
seorang karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus
karena menurut pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola, dalam hal ini direktur,
sehingga segala hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan
Pengurus. Pihak Pengelola sendiri tidak memberikan
surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut. Karena sikapnya itu, A akhirnya
dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS Swasta itu dapat dikatakan
melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan fungsi, pelaksanaan
dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah Sakit
4. Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip
pertanggungjawaban
Sebuah perusahaan PJTKI di Yogyakarta
melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter. Dalam pengumuman dan
perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji akan mengirimkan calon TKI
setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan dikirim ke negara-negara
tujuan. Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa segala biaya yang
dikeluarkan pelamar akan dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke
negara tujuan. B yang tertarik dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan
mengeluarkan biaya sebanyak Rp 7 juta untuk ongkos administrasi dan pengurusan
visa dan paspor. Namun setelah 2 bulan training, B tak kunjung diberangkatkan,
bahkan hingga satu tahun tidak ada kejelasan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan
PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan, begitu seterusnya. Dari kasus ini
dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut telah melanggar prinsip
pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai calon TKI yang
seharusnya diberangkatkan ke negara lain tujuan untuk bekerja.
5. Pelanggaran etika bisnis terhadap
prinsip kewajaran
Sebuah perusahaan properti ternama di
Yogjakarta tidak memberikan surat ijin membangun rumah dari developer kepada
dua orang konsumennya di kawasan kavling perumahan milik perusahaan tersebut.
Konsumen pertama sudah memenuhi kewajibannya membayar harga tanah sesuai
kesepakatan dan biaya administrasi lainnya. Sementara konsumen kedua masih
mempunyai kewajiban membayar kelebihan tanah, karena setiap kali akan membayar
pihak developer selalu menolak dengan alasan belum ada ijin
dari pusat perusahaan (pusatnya di Jakarta). Yang aneh adalah di kawasan
kavling itu hanya dua orang ini yang belum mengantongi izin pembangunan rumah,
sementara 30 konsumen lainnya sudah diberi izin dan rumah mereka sudah dibangun
semuannya. Alasan yang dikemukakan perusahaan itu adalah ingin memberikan
pelajaran kepada dua konsumen tadi karena dua orang ini telah memprovokasi
konsumen lainnya untuk melakukan penuntutan segera pemberian izin pembangunan
rumah. Dari kasus ini perusahaan properti tersebut telah melanggar prinsip
kewajaran (fairness) karena tidak memenuhi hak-hakstakeholder (konsumen)
dengan alasan yang tidak masuk akal.
6. Pelanggaran etika bisnis terhadap
prinsip kejujuran
Sebuah perusahaan pengembang di Sleman
membuat kesepakatan dengan sebuah perusahaan kontraktor untuk membangun sebuah
perumahan. Sesuai dengan kesepakatan pihak pengembang memberikan spesifikasi
bangunan kepada kontraktor. Namun dalam pelaksanaannya, perusahaan kontraktor
melakukan penurunan kualitas spesifikasi bangunan tanpa sepengetahuan
perusahaan pengembang. Selang beberapa bulan kondisi bangunan sudah mengalami
kerusakan serius. Dalam kasus ini pihak perusahaan kontraktor dapat dikatakan
telah melanggar prinsip kejujuran karena tidak memenuhi spesifikasi bangunan
yang telah disepakati bersama dengan perusahaan pengembang.
7. Pelanggaran etika bisnis terhadap
prinsip empati
Seorang nasabah X dari perusahaan
pembiayaan terlambat membayar angsuran mobil sesuai tanggal jatuh tempo karena
anaknya sakit parah. X sudah memberitahukan kepada pihak perusahaan tentang
keterlambatannya membayar angsuran, namun tidak mendapatkan respon dari
perusahaan. Beberapa minggu setelah jatuh tempo pihak perusahaan langsung
mendatangi X untuk menagih angsuran dan mengancam akan mengambil mobil yang
masih diangsur itu. Pihak perusahaan menagih dengan cara yang tidak sopan dan
melakukan tekanan psikologis kepada nasabah. Dalam kasus ini kita dapat
mengkategorikan pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran prinsip empati
pada nasabah karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan peringatan
kepada nasabah itu dengan cara yang bijak dan tepat.
Salah satu contoh pelanggaran etika bisnis di Indonesia yang sering
disiarkan diberbagai stasiun televisi adalah adanya sinyal kuat bahwa memang telah terjadi
distorsi etika dan pelanggaran kemanusiaan yang hebat di Papua. Martabat manusia yang seharusnya dijunjung
tinggi, peradaban, kebudayaan, sampai mata rantai penghidupan jelas-jelas
dilanggar. Ketika sistematika kehidupan yang sangat drastis tersebut sudah
tidak bisa lagi ditahan, ledakan kemarahan komunitas itu terjadi (Hutchins,M.J.,et.al.,2007). Itu adalah fakta keteledoran
pemerintah yang sangat berat karena selama ini bersikap underestimate kepada rakyat Papua. Gagasan
mendapatkan kesejahteraan dengan intensifikasi industrialisasi nyata-nyata
gagal. Ironisnya, Freeport sebagai representasi hegemoni peradaban
industrialisasi modern yang
terkenal dengan implementasi konsep menghargai heterogenitas dan diversitas
(Velasquez, M.G., 2006), rupa-rupanya, hanya jargon belaka. Dua kali pekerja
Freeport melakukan aksi mogok kerja sejak Juli untuk menuntut hak normatifnya
soal diskriminasi gaji, namun dua kali pula harus beradu otot.
Dengan demikian PT Freeport Indonesia telah melanggar beberapa
undang-undang, diantaranya :
1. Hak-hak
dari buruh Indonesia (HAM) berdasarkan UU No. 13/2003 tentang mogok kerja sah
dilakukan. PT Freeport Indonesia telah melanggar pasal:
a. Pasal 139
i. “Pelaksanaan mogok kerja bagi
pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan
atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia
diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan atau
membahayakan keselamatan orang lain”.
b. Pasal
140
(1) “Sekurang-kurangnya
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan,
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara
tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat”. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
(satu) sekurang-kurangnya memuat: (i) Waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai
dan diakhiri mogok kerja. (ii) Tempat mogok kerja. (iii) Alasan dan
sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja. (iv) Tanda tangan ketua dan
sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat
buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(2) Dalam
hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota
serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat 2)ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai
koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam
hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, maka demi
menyelamat kan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil
tindakan sementara dengan cara: (i) Melarang para pekerja/buruh yang mogok
kerja berada dilokasi kegiatan proses produksi, atau (ii) Bila dianggap perlu
melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
c. Pasal 22
“Setiap
orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak akan
terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat doperlukan untuk
martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun
kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan sumber daya setiap
negara”.
2. PT
Freeport Indonesia melanggar UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan yang sudah diubah dengan UU No. 4/2009.
Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap
Freeport. Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah
barometer penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi
dari berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-McMoran tersebut di
kawasan Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi
kawasan, nasional, bahkan global.
Contoh yang selanjutnya menjadi masalah dalam industri
telekomunikasi adalah masih adanya pelanggaran terhadap iklan yang saling
menyindir bahkan relatif saling menjatuhkan. Dalam contoh hal ini iklan
telkomsel dengan iklan XL, seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini
Dari baliho iklan yang terpampang diatas kita sebagai konsumen
/masyarakat sudah bisa menebak maksud dari masing-masing provaider di setiap
iklan yang disajikan, terlebih jika posisi iklan balihonya saling berdekatan.
Salah satu contoh iklan yang juga menyinggung kompetitor lainnya seperti yang
terlihat pada gambar dibawah
Mungkin di era globalisasi dengan slogan pasar bebasnya, boleh
berbagai melakukan berbagai cara untuk unggul atas persaingan, namun perlu
digaris bawahi juga persaingan yang tidak sehat dengan saling menyindir dan
juga menjatuhkan kompetitor melanggar prinsip etika dalam berbisnis, dan malah
bisa menambah citra buruk dimata konsumen.
Setiap ada kendala pasti disitu ada jalannya berupa
pengendalian-pengendalian dari para pelaku bisnis di Indonesia agar tetap
memikirkan masyarakat. Jika para pelaku bisnis mengutamakan atau orientasinya
adalah masyarakat, maka keuntungan daripada bisnis akan mengikuti sejalan
dengan tinggi-rendahnya permintaan konsumen. Selain itu, dalam menciptakan etika bisnis, Dalimunthe (2004) menganjurkan
untuk memperhatikan beberapa hal
sebagai berikut dalam
berbisnis sebagai langkah bisnis yang beretika :
1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu
mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari
siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak
mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan
menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan
menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi
pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat
sekitarnya. Inilah etika bisnis yang “etis”.
2. Pengembangan tanggung jawab sosial
(social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan
masyarakat, bukan hanya dalam bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan,
melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki
oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu
terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku
bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang
berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu
mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat
sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri dan tidak
mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan
teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk
meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya
yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk
meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan
yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara
pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan
perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap
perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada
kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan
konsep “pembangunan berkelanjutan”
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat
sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang.
Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak
meng-”ekspoitasi” lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa
mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang
merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Mampu menyatakan yang benar itu
benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima
kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan
menggunakan “katabelece” dari “koneksi” serta melakukan “kongkalikong” dengan
data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi” serta
memberikan “komisi” kepada pihak yang terkait.
7. Menumbuhkan sikap saling percaya
antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha ke bawah.
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang “kondusif” harus ada saling
percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha
lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya
yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara
pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada
pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
8. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main
yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat
terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika
tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara
ada “oknum”, baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk
melakukan “kecurangan” demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep
etika bisnis itu akan “gugur” satu semi satu.
9. Menumbuhkembangkan kesadaran dan
rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua
memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
10. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam
suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut,
seperti “proteksi” terhadap pengusaha lemah.
Sekarang ada cara baru menangani masalah bisnis seperti sekarang
ini. Caranya adalah melakukan pendekatan stakeholder. Pendekatan stakeholder
merupakan sebuah pendekatan yang baru digunakan, khususnya dalam etika bisnis.
Belakangan ini dengan mencoba mengintegrasikan kepentingan bisnis di satu pihak
dan tuntutan etika di pihak lain. Dalam hal ini, pendekatan stakeholder adalah
cara mengamati dan menjelaskan secara analitis bagaimana berbagai unsur
dipengaruhi dan mempengaruhi keputusan dan tindakan bisnis. Pendekatan ini
memetakan hubungan-hubungan yang terjalin dalam kegiatan bisnis pada umumnya
untuk memperlihatkan siapa saja yang punya kepentingan,terkait dan terlibat
dalam kegiatan bisnis pada umumnya itu. Pada akhirnya, pendekatan ini mempunyai
satu tujuan imperatif : bisnis harus dijalankan sedemikian rupa agar hak dan
kepentingan semua pihak terkait yang berkepentingan (stakeholders) dengan suatu
kegiatan bisnis dijamin, diperhatikan dan dihargai. Sekaligus dengan pendekatan
ini bisa dilihat secara jelas bagaimana prinsip-prinsip etika bisnis yang
dibahas dalam makalah ini menemukan tempatnya yang relevan dalam interaksi
bisnis dari sebuah perusahaan dengan berbagai pihak yang terkait.
Dasar pemikiran daripada stakeholder adalah bahwa semua pihak yang
mempunyai kepentingan dalam suatu kegiatan bisnis terlibat di dalamnya karena
ingin memperoleh keuntungan, maka hak dan kepentingan mereka harus diperhatikan
dan dijamin. Yang menarik, pada akhirnya pendekatan stakeholder bermuara pada
prinsip minimal yang telah disebutkan di depan : tidak merugikan hak dan
kepentingan pihak berkepentingan mana pun dalam suatu kegiatan bisnis. Ini
berarti, pada akhirnya pendekatan stakeholder menuntut agar bisnis apapun perlu
dijalankan secara baik dan etis demi menjamin kepentingan semua pihak yang
terkait dalam bisnis tersebut.
Yang juga menarik adalah sama dengan prinsip no harm , pendekatan ini pun
memperlihatkan secara sangat gamblang bahwa pada akhirnya pendekatan ini pun
ditempuh demi kepentingan bisnis perusahaan yang bersangkutan. Atinya, supaya
bisnis dari perusahaan itu dapat berhasil dan bertahan lama, perusahaan mana pun
dalam kegiatan biisnisnya dituntut atau menuntut dirinya untuk menjamin atau
menghargai hak dan kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnisnya.
Karena, kalau salah satu pihak saja dari pihak-pihakyang berkepentingan
dirugikan, pihak tersebut tidak akan mau lagi menjalin bisnis dengan perusahaan
tersebut. Bahkan pihak lain yang belum menjalin bisnis dengan perusahaan itu
juga akan menganggap perusahaan tersebut sebagai perusahaan yang harus
diwaspadai dalam relasi bisnis selanjutnya, kalau perlu sebisa mungkin
dihindari.
Selain langkah-langkah tersebut, seorang wirausahawan juga harus
meningkatkan skill untuk meningkatkan keterampilan dalam menciptakan
inovasi-inovasi terbaru dalam dunia bisnis yang semakin maju agar dapat
bersaing dengan wirausahawan lainnya. Peningkatan skill tersebut dapat berupa :
melanjutkan studi lanjut tentang bisnis, mengadakan kunjungan ke pabrik dalam
mempelajari proses produsi bersama para karyawan. Dan juga seorang wirausahawan
harus mengorientasikan bisnisnya pada kepuasan masyarakat bukan pada keuntungan
daripada bisnis.
Jika seorang wirausahawan menerapkan langkah-langkah diatas dalam
berbisnis, maka manfaat daripada etika bisnis dapat dirasakan , diantaranya :
1. Jika jujur dalam berbisnis, maka
bisnisnya akan maju
2. Timbulnya kepercayaan
3. Kemajuan terjaga, jika perilaku etis
terjaga
4. Perolehan laba akan meningkat
5. Bisnis akan terjaga eksistensi dan
kesinambungannya.
SUMBER :
http://helloprimata.blogspot.co.id/2014/06/makalah-etika-bisnis-di-indonesia.html